Penulis : Ilham Zulfikar, S.E - Jurnalis tvonenews.com
5 tahun sekali Indonesia khusunya Daerah Provinsi Aceh,
menggelar pesta Demokrasi dengan melakukan Pemilihan Anggota Dprk, Dpra, Dpr-Ri DPD-RI dan Presiden
dan Wakil Presiden, Selain itu masyarakat juga turut melakukan pemilihan kepala
daerahnya, Mulai dari Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Waliota serta
Gubernur dan Wakil Gubernur.
Maka dari itu sebagian generasi muda pasca perdamaian Kesepakatan Helsinki atau MoU Helsinki yang umum dipakai di Indonesia merujuk pada nota kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang ditandatangani di Helsinki, Finlandia pada 15 Agustus 2005 tersebut pada saat itu pemuda aceh sangat tidak tertarik dalam meningikuti perkembangan politik Aceh Ri maupun daerah aceh itu sendiri.
Dari perdamaian tersebut
lahirnya butir -butir Mou yaitu Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2012 tentang Pemilihan
Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota, yang
kini telah di revisi menjadi qanun aceh nomor 6 tahun 2016 tentang penyelengara
Pemilu di Aceh.
Pasca terlaksananya MoU
Helsinky, Aceh telah memiliki wadah baru untuk mengembangkan wilayahnya. Seperti
yang tertera pada Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2008 tentang Partai Lokal, Kebebasan masyarakat Aceh dalam memajukan Aceh
dapat dilihat pada peluang munculnya calon legislatif (caleg) yang semakin pesat
di aceh melalui partai Lokal, namun sayang saat itu partai lokal tidak mengutamakan
pemuda aceh untuk ikut terjun didalam politik tersebut dimana para calon legeslatif
maupun calon eksekutif tersebut diduduki oleh para pejuang (GAM).
Berselang beberapa
periode putaran politik di Aceh maka menjelang tahun 2024 mendatang banyak Calon
-calon muda yang turut mengisi kursi parlemen dengan ketertarikan dan kepamahan
politik secara otodidak maupun akademisi.
Tahun 2024 Menjadi Ajang Muda
Dalam Berpolitik
Ketertarikan Pemuda Aceh
dalam mengikuti pemilihan calon legeslatif saat ini sangat pesat, dimana pemuda
yang baru lulus sekolah menengah atas sudah mulai mempersiapkan diri untuk mengikuti
ajang pesta rakyat pada pemilihan legislatif mendatang, Tokoh-tokoh muda yang
ikut berkecimpung dalam politik tahun 2024 mendatang terdiri dari calon DPD-RI,
DPRA, dan DPRK bahkan ada yang ikut ke Calon DPR-RI.
Ketertarikan kaum muda
dalam mengikuti persaingan politik tersebut dikarekan rata-rata ingin mencari
pengalaman di parlemen dan ingin merasakan persaingan poitik sebagai azas
Demokrasi di Indonesia Khusunya di Aceh dan sebagian kaum muda sudahmulai tidak
mempercayai lagi kepada kaum intelektual dalam menjalankan roda perwakilan
rakyat.
Rata-rata kaum muda yang
ikut perang politik tersebut, bergabung di partai Lokal, seperti Partai Aceh,
Partai PDA, PNA dan Partai PAS dan partai lokal lainnya, tidak hanya itu ada
juga kaum muda yang tertarik bergabung dari wadah nasional seperti Demokrat,
Nasdem, Gerindra dan ada juga bergabung di Partai PDI-P.
Berdasarkan data Komisi Idependen
Pemilihan (KIP) Aceh Timur, Rata-rata calon leslatif yang mendaftar pemilu 2024
ini merupakan banyak dari kaum muda, ada sekitar 70 % calon legeslatif yang
mendaftar melalui partai pengusung mereka masing-masing.
Ketertarikan Kaum Muda
Dalam Berpolitik
Berbicara
politik generasi Muda, momentum yang paling mencolok ialah ketika Pemilu 2019.
Dimana menurut Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI, Sarah Suaini Siregar
menyatakan, berdasarkan hasil survey lembaganya ada sekitar 35 persen sampai 40
persen pemilih dalam pemilu 2019 didominasi pemilih generasi muda atau milenial.
Melihat cukup besarnya persentase pemilih tersebut, merupakan pemandangan
politik yang sungguh menawan, bukan bagi penyelenggara pemilu saja yang
berbangga hati. Tetapi, juga parta politik juga pasti menilai hal tersebut
ibarat lahan basah yang mengandung permata yang berharga.
Namun, melihat persentase cukup mentereng tersebut. Kita tidak bisa menilai langsung, apakah keeluruhan pemilih dari generasi muda tersebut mengerti tentang politik khususnya dalam praktek perwujudannya. Berdasarkan riset IDN Research Institute. Dalam laporan bertajuk “Indonesian Millenial report 2019”, hanya 23,4 persen yang suka mengikuti berita politik. Namun, tidak dinyatakan bahwa pemilih millenial tersebut paham akan politik. Kaum millenial cenderung menganggap politik hanya untuk orang – orang yang kuno atau generasi tua “old school”. Melihat karakteristik generasi millenial yang sebagian beaar cenderung apatis terhadap politik, mau tidak mau pendidikan politik sudah selayaknya untuk diberikan, guna pemilih millenial ini hanya menjadi objek politik.
Terlebih lagi, siklus perpolitikan di Indonesia, saat ini hampir setiap tahun selalu bergulir, dan yang paling dekat adalah ajang kontestasi pilkada 2020, melihat hasil survei di atas, dikhawatirkan pemilih millenial tersebut akan terbawa arus. Menyadari hal tersebut, sudah selayaknya pemilih tersebut diberikan pendidikan ataupun kursus mengenai pendidikan politik. Pendidikan politik yang diberikan, tidak hanya tentang penyelenggaraan negara, tetapi juga pendidikan politik secara umum dalam kehidupan bermasyarakat atau sosiologi politik, agar pemilih millenial tersebut dapat mendapatkan gambaran untuk peka dengan kondisi sekitar.
Melihat kerentanan yang terjadi, melalui pembenahan secara masif, diharapkan pemilih millenial tersebut makin terbuka dalam cara nya memandang permasalahan tentang politik. Sehingga kualitas pemilih millenial bukan hanya di bidang non politik saja yang menonjol. Bahkan, bisa saja di bidang politik justru menjanjikan sesuatu yang menarik untuk ditindak lanjuti. Sehingga kalangan pemilih millenial tersebut tidak hanya dipandang sebelah mata oleh pihak-pihak yang merasa diuntungkan dengan persentase yang besar tersebut.
Dari kaca mata
jurnalistik, melihat dimana ketertarikan kaum muda dalam berpolitik yaitu didasari
dari perkembangan teknologi dan media sosial serta rasa ingin tahu sehingga
mereka memilih untuk berkecipung dalam dunia politik, menurut salah satu kaum
muda yang sudah berkecimpung di dunia politik tersebut menjelaskan bahwa menjadi anggota dewan tidak
terlalu sulit dimana cukup menyediakan modal yang tidak begitu besar, karena
suara untuk menjadi anggota DPRK di salah satu daerah di Aceh, cukup
mengantongi 1.500 suara badan dan seribu suara partai. Maka jika kaum muda
sudah paham dengan sistem managemen politik maka disitulah ketertarikan muncul.
Posting Komentar